MENJADI PENDIDIK DI KANTONG KETERBELAKANGAN;
Suatu kesempatan strategis untuk berkarya memperluas kerajaanNya
di pelosok Nusantara
oleh Fredy Saudale
Suatu pagi di hari kerja, pintu ruangan saya diketuk oleh seorang mahasiswa, dan dengan sedikit sungkan, namun dengan semangat sambil membawa kertas-kertas, dan buku tulis, dia menghampiri saya dan bertanya dengan logat Timor yang kental, “Bapa, .. Bapa ada waktu ko? Beta mau tanya sesuatu, ada soal perhitungan yang beta sonde (tidak) bisa kerjakan”.
Sembari tersenyum untuk redakan ketegangannya dan juga untuk tetap bangkitkan semangat belajarnya saya menjawab, “Tentu, masuk su (sudah), pak dengan senang hati akan menolong!”. Memang terlihat dia tidak menguasai prinsip dasar materi yang diberikan. Sambil mengajar perlahan-lahan, saya bertanya, “Kamu lulusan dari SMA mana? dahulu mengerti tidak waktu guru IPA di SMA kasih ajar?. Spontan dia menjawab, “Bapa .. jujur sa, beta dari pulau Alor, SMA negeri disana. Kalo bapa mo tau, di beta pung sekolah cuma ada satu guru merangkap kepala sekolah, guru IPA, IPS dan pegang semua kelas!”.
Sontak saya menarik badan dan mendengarkan dengan lebih seksama penjelasannya. Dia melanjutkan, “Itu ju (juga) tiap hari tidak selalu ada pelajaran, bapa! Tergantung! kalo pak guru masuk, na katong (kita) belajar, kalo sonde datang, ya katong maen-maen sa di sekolah!”. Sekejap saya terhenyak dengan penjelasannya, dan memahami kondisi dan latar belakangnya yang membuat saya mengerti kenapa dia sangat tertinggal dalam materi kuliah.
Pada saat kami masuk bagian perhitungan, kembali dia menemui kesulitan, dan cukup lama dia tertahan di bagian ini. Akhrinya, saya memberikan tes singkat untuk menguji kemampuan perhitungan dasarnya. Saya bertanya, “Coba kamu bisa tuliiskan hasil dari 1/2 + 2/3?”. Tanpa ragu dia langsung menuliskan diatas kertas dan menyodorkan hasilnya dengan jawaban, “3/5”. Saya berdiri dibelakang dia yang duduk di kursi, tanpa dia ketahui, seketika tanpa saya sadari juga air mata saya meleleh.
Sebagai akademisi saya protes di dalam hati, seharusnya kualitas mahasiswa seperti dia tidak layak untuk masuk level pendidikan tinggi. Tapi, Tuhan seperti sedang membukakan bahwa inilah kondisi nyata anak-anak didik di NTT yang harus dilayani dan digarap. Mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Mereka membutuhkan pendidik-pendidik yang tidak hanya mengajar karena gaji, tapi mengajar karena panggilan dan dengan hati.
Tiba-tiba saya teringat akan panggilan kenapa Tuhan mengutus saya ke NTT. Setelah kejadian itu, saya semakin menemukan apa makna sejati dari pendidikan itu. Mendidik ternyata bukanlah menjejalkan semua pengetahuan di buku teks ke dalam otak anak didik. Tetapi, mendidik adalah usaha keras penuh pengorbanan dan pelayanan dalam memanusiakan anak didik, agar melaluinya hidup mereka ditransformasi, karakter dibentuk, jiwa dan mentalitas dibangun, yang pada akhrinya menolong mereka untuk bisa menemukan jati diri mereka yang sejati sebagai ciptaan Allah yang mulia, seturut dan serupa gambaranNya.
Menjadi pendidik adalah menjadi pelayan Allah bagi sesama. Mendidik membawa serta didalamnya suatu kesempatan yang sebesar-besarnya untuk berkarya agar nilai-nilai Kerjaan Allah dapat dialirkan bagi kebaikan umat manusia melalui pengaaran di kelas, tutoring, bimbingan akademik, kegiatan esktrakurikuler dll. Saya semakin disadarkan betapa serius dan signifikan sekali panggilan Tuhan untuk mengabdi sebagai pendidik di NTT, walaupun berat dan penuh tantangan pergumulan.
Pertanyaannya adalah kenapa saya mau taat untuk memenuhi panggilan Tuhan berkarya bagiNya di NTT yang sulit itu? Jawabannya adalah karena saya mempunyai keyakinan yang kuat di dalam menjalani panggilan Tuhan bahwa ditempat-tempat seperti NTT inilah, yang terbelakang, yang serba kekurangan, dan tertinggal dalam banyak segi kehidupan, peran saya sebagai garam dan terang akan jauh lebih berguna dan efektif.
Hal ini selaras dengan apa yang firman Tuhan katakan didalam Matius 5:14-16;
“Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”
Ayat ini berbicara sangat dalam bagaimana letak atau posisi pelita itu haruslah strategis dan tepat agar fungsinya sebagai terang menjadi efektif. Menjadi alumni tidak cukup hanya tahu secara “teori’ bahwa kita adalah terang dunia, tetapi kita perlu bergerak (baca=TAAT) seturut kehendak Allah dimana Dia akan tempatkan kita. Dan dimana Dia akan memposisikan kita, disitulah melalui ketaatan, kita akan menemukan diri kita efektif menjadi pelita-pelita yang menerangi dunia. Saya tidak mengatakan bahwa alumni harus ke daerah-daerah terpencil semua. Kita juga perlu pelayanan di kota-kota besar. Tapi kunci utamanya adalah TAAT kemana Tuhan akan posisikan kita, membukakan kesempatan strategis, sekalipun itu di kantong keterbelakangan seperti saya, atau kota-kota besar, disitulah kita akan menemukan diri kita EFEKTIF bagi perluasan kerajaanNya, karena disanalah kehadiran kita sangat dibutuhkan, sama seperti pelita bagi rumah yang gelap.
Dan hal ini juga terjadi dalam diri saya dalam menjalani panggilan, dan itu juga yang terus meneguhkan saya menekuni panggilan Tuhan di NTT. Saya punya kesempatan dan peluang yang sangat besar untuk bisa menghadirkan prinsip-prinsip kebenaran Kerajaan Allah dalam setiap momen pengajaran baik di dalam dan di luar kelas bersama-sama mahasiswa. Saya merasakan bahwa kehadiran, pengetahuan, talenta, skill, dan pengalaman yang Tuhan telah karuniakan sangat berguna, berarti dan yang terpenting membawa dampak di dalam diri dan kehidupan mahasiswa baik pada saat di kampus, maupun setelah kehidupan pasca kampus sebagai alumni.
Hal tersebut jauh lebih memberikan kehidupan, sukacita, semangat, motivasi lebih dari gaji saya yang hanya 2 juta perbulan sebagai dosen PNS, karena mengetahui kalau saya boleh Tuhan pakai di dalam anugerahNya menjadi bagian dalam proses transformasi hidup mahasiswa di masa muda mereka yang adalah masa yang sangat kritis dalam menentukan arah dan pegangan hidup. Tuhan memposisikan saya ditengah-tengah perjalanan hidup mereka yang singkat selama 4-5 tahun di kampus dengan memberikan sentuhan kasih Allah yang mengajar, mendisiplinkan, dan membangun diatas dasar nilai-nilai kerajaanNya.
Itu adalah suatu anugerah dan hal yang luar bisa bagi saya. Pujian hanya bagi Tuhan yang telah memanggil dan mengutus! Biarlah saya terus dimampukan untuk taat!
Amin! ©